surabaya tempoe doeloe.
surabaya tempoe doeloe.
surabaya tempoe doeloe.
Dahulu kala di lautan luas kerap terjadi perkelahian antara ikan Hiu Sura dengan buaya Baya. Mereka berkelahi untuk memperebutkan mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama cerdik, sama-sama tangkas, sama-sama rakus, dan sama-sama ganas.
Adapula asal-usul Kota Surabaya versi dongeng atau cerita yang tenar di masyarakat, konon terjadi perkelahian sengit antara ikan hiu, yaitu sura atau suro, dengan buaya yaitu baya atau boyo.
Mereka berkelahi untuk memperebutkan mangsa. Akibat
perkelahian itu, air di sekitar keduanya menjadi merah oleh darah. Sura menggigit baya di pangkal ekor sebelah kanan, sehingga ekor baya membengkok ke kiri. Sebaliknya, baya juga menggigit ekor sura.
Pertarungan antara kedua binatang itu sangat berkesan bagi masyarakat Surabaya, sehingga nama Surabaya kerap dikaitkan dengan cerita tersebut.
Selain itu, lambang Kota Surabaya juga menggunakan gambar ikan hiu dan buaya.
Namun, makna lambang tersebut bukanlah pertarungan antara ikan hiu dan buaya. Lebih tepatnya adalah simbol ikan sura dan buaya atau baya, sehingga menjadi suro ing baya. Artinya, pemuda Surabaya tidak gentar menghadapi bahaya. Patung sura dan baya ini dapat kita temui saat mengunjungi Kota Surabaya, tepatnya di depan Kebun Binatang Surabaya.
Tradisi ini dilakukan masyarakat Surabaya, khususnya oleh masyarakat pesisir Surabaya.
Sesuai dengan namanya, prosesi tradisi ini melakukan pelarungan ari-ari bayi yang baru lahir ke laut.
Dalam tradisi Temu Manten Pegon, ritual dan pakaian yang digunakan begitu kental dengan unsur budaya Surabaya, Tionghoa, dan Arab.
Sedekah bumi merupakan wujud rasa syukur masyarakat di kawasan Sambikarep setelah menerima hasil bumi yang melimpah. Dengan adanya tradisi ini warga berharap akan diberi banyak limpahan rezeki dan dijauhkan dari bahaya.
Tradisi yang satu ini juga benar-benar unik. Namanya Pitonan. Yakni sebuah tradisi acara selamatan yang dilakukan masyarakat Surabaya terkait kelahiran anak. Tujuannya yakni merayakan kelahiran anak tersebut sehingga sudah sampai di usia tujuh bulan.
Budaya unik dari Surabaya berikutnya adalah Gulat Okol. Yaitu sebuah tradisi yang menyajikan pertunjukan permainan gulat. Pemainnya ada dua orang dengan cara bergulat di atas tumpukan jerami.
Tradisi Peningsetan sebenarnya adalah tradisi yang merupakan lanjutan dari proses nakokake. Tradisi ini dilakukan sejumlah rombongan pihak mempelai pria. Mereka datang membawa berbagai macam barang kepada pihak calon mempelai wanita sebagai tanda ikatan.